DAPATKAH PENYEDIA PLATFORM MARKETPLACE BERTANGGUNG JAWAB TERHADAP PENJUALAN BARANG DIRECT SELLING (MLM)???

Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan jo. PP No. 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan, telah memberikan pengaturan terdapat 2 (dua) jenis Distribusi Barang, yaitu Distribusi Barang yang diperdagangkan di dalam negeri yang dilakukan secara tidak langsung dan secara langsung (Direct Selling) kepada Konsumen. Adapun Distribusi Barang secara tidak langsung dilakukan oleh Pelaku Usaha Distribusi dengan menggunakan rantai Distribusi yang bersifat umum yaitu Distributor dan jaringannya, Agen dan jaringannya atau Waralaba. Sedangkan Distribusi Barang secara langsung sebagaimana dilakukan dengan menggunakan pendistribusian khusus melalui sistem Penjualan Langsung yang dilakukan secara Single Level atau Multi Level dengan menggunakan sistem penjualan Barang tertentu melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh Penjual Langsung yang bekerja atas dasar Komisi dan/atau Bonus berdasarkan hasil penjualan kepada Konsumen di luar lokasi eceran, dimana dalam sistem ini tidak melalui rantai distribusi yang panjang serta tidak perlu biaya iklan/promosi yang mahal, karena jaringan pemasaran tersebut dikembangkan oleh Penjual Langsung (Mitra Usaha) yang professional dan handal sehingga harga produk yang sampai di tangan konsumen menjadi lebih murah dan keuntungan yang diperoleh Perusahaan Penjual Langsung digunakan untuk membayar komisi dan/atau bonus Penjual Langsung (Mitra Usaha).

Perusahaan Penjual Langsung yang melakukan kegiatan Distribusi Barang dengan sistem Penjualan Langsung harus memiliki Hak Distribusi Eksklusif terhadap Barang yang akan didistribusikan melalui penjualan secara langsung harus memiliki Program Pemasaran (Marketing Plan), memiliki kode etik, melakukan perekrutan Penjual Langsung melalui sistem jaringan dan melakukan penjualan Barang secara langsung kepada Konsumen melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh Penjual Langsung. Hak Distribusi Eksklusif tersebut didapat dari perjanjian atau kepemilikan atas merek dagang, dimana dalam hal Hak Distribusi Eksklusif yang didapat melalui perjanjian diputus secara sepihak oleh pemilik merek dagang sebelum masa berlaku perjanjian tersebut berakhir, pemilik merek dagang tidak dapat menunjuk perusahaan baru sebelum tercapai kesepakatan dalam penyelesaian perselisihan oleh para pihak atau sampai ada putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Selain itu pula, kegiatan usaha Perdagangan dengan sistem Penjualan Langsung diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara perusahaan dan Penjual Langsung dengan memperhatikan kode etik. Pelaku Usaha Distribusi dalam sistem Penjualan Langsung harus memiliki Perizinan Berusaha sebagai Perusahaan Penjualan Langsung sesuai KBLI 37999.

Di dalam ketentuan Pasal 48 huruf (i) PP No.29 Tahun 2021 telah mengatur bahwa Perusahaan yang telah melakukan perekrutan Penjual Langsung wajib memastikan Penjual Langsung tidak menjual Barang melalui saluran distribusi tidak langsung dan/atauonline Marketplace.Ketentuan ini kemudian dipertegas oleh ketentuan Pasal 51 huruf (j) PP No.29 Tahun 2021yang berbunyi bahwa Perusahaan yang telah memiliki Perizinan Berusaha di bidang Penjualan Langsung dilarang melakukan menjual atau memasarkan Barang yang tercantum dalam perizinan berusahanya melalui saluran Distribusi tidak langsung dan/atauonline Marketplace. Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan ini akan dikenakan sanksi administratif sesuai ketentuan Pasal 166 PP No.29 Tahun 2021 berupa teguran tertulis, penarikan Barang dari Distribusi, penghentian sementara kegiatan usaha, penutupan Gudang, denda, dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha. Akan tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 167 PP No.29 Tahun 2021, Pengenaan sanksi administratif tersebut tidak menghilangkan pertanggungjawaban pidana untuk Pelaku Usaha dan/atau kegiatan usaha berisiko tinggi dimana dalam hal ini distribusi barang secara langsung masuk dalam kategori kegiatan usaha yang berisiko tinggi, sehingga pertanggungjawaban pidana kepada Pelaku Usaha dan/atau kegiatan usaha berisiko tinggi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Maraknya penjualan barang di Marketplace dengan cara Cutting Price sangat merugikan Perusahaan, namun ironisnya menurut PP No.29 Tahun 2021 justru tanggung jawab pengawasan berada pada Perusahaan, padahal pelakunya selama ini adalah para Penjual Langsung (Mitra Usaha) atau pihak lainnya untuk mengejar keuntungan perolehan bonus atau komisi dengan cara yang tidak jujur. Adapun bentuk kerugian yang akan timbul baik langsung atau tidak langsung terhadap Perusahaan akibat perbuatan tersebut antara lain adalah :

  1. Hilangnya semangat para Mitra Usaha untuk memasarkan kembali produk mlm karena mereka harus bersaing dengan harga yang lebih murah di Marketplace.
  2. Banyak yang akhirnya tidak jadi join sebagai Mitra Usaha MLM karena maraknya barang MLM yang ditawarkan lebih murah yang di jual di Marketplace, sehingga dianggap tidak menguntungkan apabila menjadi Mitra Usaha Perusahaan MLM dan lebih baik beli di Marketplace saja.
  3. Penjualan Perusahaan MLM akan menurun karena Mitra Usaha atau konsumen yang biasanya membeli melalui jalur resmi, beralih membeli di Marketplace yang harganya jauh lebih murah.
  4. Mitra Usaha tidak mau lagi melakukan pembelian ulang (Repeat Order) karena hilangnya opportunity dan trust kepada Prospek MLM yang dijanjikan Perusahaan dalam Marketing Plan.
  5. Akan timbul persengketaan dan persaingan tidak sehat antara sesama Mitra Usaha dan jaringannya karena merasa terjadi diskrimnasi akibat adanya pembiaran terhadap maraknya penjualan barang MLM di Marketplace.
  6. Akan timbul keluhan-keluhan/complain dari Mitra Usaha yang baru join ketika mereka mengetahui maraknya permasalahan cutting price di Marketplace, yang membuat keengganan mereka untuk mengembangkan jaringannya.
  7. Akan banyak produk-produk palsu atau produk asli namun sudah Expired yang dijual di Marketplace, yang pada akhirnya merugikan konsumen, sehingga konsumen tidak lagi percaya pada produk yang dikeluarkan perusahaan MLM tersebut.

Kementerian Komunikasi dan Informatika menerbitkan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Elektronic Commerce) yang Berbentuk User Generated Content.Adapun maksud dari kebijakan ini adalah memberikan pedoman bagi pedoman bagi Penyedia Platform atau Penyelenggara Sistem Elektronik dan Pedagang (Merchant) dalam hal batasan dan tanggung jawabnya dalam Transaksi Elektronik berupa perdagangan berbasis elektronik (Electronic Commerce) berbentukUser Generated Content. Adapun tujuan dari kebijakan ini adalah adalah agar terselenggaranya penyelenggaraan sistem elektronik yang aman, andal, dan bertanggung jawab sehingga menumbuhkan ekosistem perdagangan melalui sistem elektronik, serta adanya perlindungan hukum bagi penyediaPlatform, pedagang (Merchant) dan PenggunaPlatform dengan memastikan batasan dan tanggung jawab masing-masing dalam melakukan kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik.Safe Harbour Policyadalah kebijakan pemerintah yang memisahkan tanggung jawab penyedia situs jual beli daring berkonsep marketplace berbasis User Generated Content (UGC) dengan penjual yang memakai jasa mereka. Konsep Marketplace sendiri berarti situs jual beli itu menyediakan lapak untuk digunakan penjual.DoktrinSafe Harbour Policyini diatur pula dalam Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3) UU ITE dimana subyek hukum penyelenggara sistem elektronik adalah setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem elektronik baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna sistem elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain. Dengan demikian maka jelas padaplatformMarketplace adalah juga termasuk ke dalam bagian penyelenggara sistem elektronik sedangkan konten padaplatformMarketplacetersebut dapat diklasifikasikan sebagai Informasi Elektronik.

Selain itu DoktrinSafe Harbour Policyini telah diatur pula dalamSurat Edaran Kominfo Nomor 3 Tahun 2016tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet danSurat Edaran Kominfo Nomor 5 Tahun 2016tentang Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant) atau yang dikenal dengan sebutan Safe Harbour Policy. Dengan adanya Safe Harbour Policy, maka Penyedia Platform seakan-akan terlepas dari pertanggungjawaban hukum apabila ada konten terlarang yang diunggah para penjualnya.

Apabila keberadaan Safe Harbour Policy ini dikaitkan dengan konteks hukum siber Indonesia, secara normatif diatur dalam pasal 26 ayat (3) dan (4) UU-ITE 2016 yang rumusannya sebagai berikut:

(3) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan

(4) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya dalam SE Menkominfo No.5 Tahun 2016 ini diatur pula perihal konten yang dilarang dan kewajiban dan tanggung jawab penyedia platform UGC dan pedagang. Kemudian, Konten yang dilarang untuk diunggah dalam platform UGC, diantaranya adalah Barang dan/atau jasa yang memuat konten negatif (pornografi, perjudian, kekerasan, dan konten atas barang dan jasa yang melanggar peraturan perundang-undangan), serta Barang dan/atau jasa yang tidak memiliki perizinan untuk diperdagangkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

Adapun kewajiban dan tanggung jawab penyedia platform UGC, diantaranya menyediakan syarat dan ketentuan pengguna platform UGC dan sarana pelaporan dan mekanisme penghapusan dan pemblokiran terhadap konten yang dilarang. Sedangkan, kewajiban dan tanggung jawab pedagang (merchant) berkewajiban dan bertanggung jawab diantaranya menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak dan produk barang dan/atau jasa yang ditawarkan dan bertanggung jawab atas semua konten yang diunggah.

Dengan demikan maka jelas pihak penyedia wajib melakukan langkah-langkah yang konkret dan bertanggung jawab walaupun telah dilindungi oleh Safe Harbour Policy,antara lain dengan cara membuat layanan pengaduan, menindaklanjuti setiap aduan pihak yang dirugikan, memeriksa secara seksama apakah produk yang dijual adalah produk illegal atau bukan, menginformasikan kepada masyarakat apabila ada konten illegal/melanggar hukum, melakukan penyaringan (filter) terhadap konten ilegal, monitoring secara berkala terhadap konten yang diduga kuat illegal, melakukan identifikasi setiap pelanggaran dan validasi terhadap produk-produk yang diperdagangkan serta upaya-upaya lainnya yang dilakukan dengan itikad baik agartetap mendapatkan perlindungan Safe Harbour Policy, sehingga tidak hanya menjadi sarana exit plan bagi penyedia platform untuk lepas dari tanggung jawab.

Berdasarkan informasi dan data Kementerian Perdagangan RI (Kemendag) melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) sepanjang tahun 2022 telah mengawasi dan berhasil menurunkan 37.488 tautan perdagangan diMarket Place. karena dianggap tidak sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), dimana terdapat diantaranya adalah 11.678 tautan sistem penjualan langsung (MLM/Multi Level Marketing) yang diperdagangkan diMarket Place.Begitu pula dalam SE Menkominfo No.5 Tahun 2016 terdapat kewajiban pihak penyedia untuk memastikan informasi dalam Marketplace tidak melanggar hukum dan wajib memastikan informasi dalam Marketplace tidak memuat informasi yang dilarang oleh ketentuan perundang-undangan dan/atau tidak memfasilitasi penyebarluasan informasi yang dilarang oleh perundang-undangan sesuai PP No.71 Tahun 2019 tentang PSTE. Tanggung jawab tersebut hanya dikecualikan apabila dapat dibuktikan bahwa terjadinya kesalahan dan/atau kelalaian tersebut adalah dari pihak pedagang (merchant) atau pengguna platform.

Menurut Abdulkadir Muhammad dalam bukunya yang berjudul Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 336 yang menyebutkan bahwa teori tanggung jawab dalam perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu :

Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.

Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan (concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur baur (interminglend).

Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa mempersoalkan kesalahan (strick liability), didasarkan pada perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

Konsep tanggung jawab hukum berkaitan erat dengan konsep hak dan kewajiban. Konsep hak merupakan suatu konsep yang menekankan pada pengertian hak yang berpasangan dengan pengertian kewajiban. Pendapat yang umum mengatakan bahwa hak pada seseorang senantiasa berkorelasi dengan kewajiban pada orang lain. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, artinya dia bertanggung jawab atas suatu sanksi bila perbuatannya bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Menurut Hans Kelsen dalam buku teori hukum murni menegaskan bahwa tanggung jawab hukum menyatakan bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subjek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan. Tanggung jawab dalam arti responsibility juga diartikan sebagai sikap moral untuk melaksanakan kewajibannya, sedang tanggung jawab dalam arti liability adalah sikap hukum untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran atas kewajibannya atau pelanggaran atas hak pihak lainnya.

Di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), terdapat 3 (tiga) kategori perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yakni:

  1. Perbuatan melawan hukum yang disengaja (Pasal 1365 KUHPerdata).
  2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan atau unsur kesengajaan maupun kelalaian (Pasal 1366 KUHPerdata).
  3. Perbuatan melawan hukum akibat kelalaian (Pasal 1367 KUHPerdata).

Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata maka terdapat 4 (empat) syarat terjadinya Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad), yakni:

  1. Adanya perbuatan melawan hukum, dimana perbuatan tersebut dianggap melawan hukum didasarkan pada aturan tertulis dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku dalam masyarakat, seperti asas kepantasan atau kepatutan.
  2. Adanya kesalahan, dimana terdapat kesalahan yang dilakukan dengan sengaja atau kelalaian, yaitu pelaku melanggar kewajiban hukum yang berlaku.
  3. Adanya kerugian, dimana telah terjadi kerugian baik secara materiil (kerugian yang dapat diukur secara nyata) maupun immateriil (kerugian terhadap manfaat atau keuntungan yang dapat diperoleh di masa depan).
  4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan.

Dalam Buku M.A. Moegni Djojodirdjo, yang berjudul Perbuatan Melawan Hukum, cet.2, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1982), hal. 25-26, pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebelum tahun 1919 oleh Hoge Raad diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Menurut ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat. Namun setelah adanya keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan Cohen. Hoge Raad telah memberikan pertimbangan yaitu bahwa dengan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diartikan suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan, baik pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian.

Berdasarkan tulisan penulis diatas, maka DAPATKAH PENYEDIA PLATFORM MARKETPLACE BERTANGGUNG JAWAB TERHADAP PENJUALAN BARANG DIRECT SELLING (MLM) DI MARKET PLACE ???


Oleh:
Dr. Uus Mulyaharja, SH, SE, MH, M.Kn, CLA, CPM, CP.Arb
Dewan Pengawas Kode Etik Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI)
Informasi

Kabar Lainnya

14 Jan 2022 dilihat 1,167 kali

APLI Convention And Awards 2021, Semangat…

25 Jan 2023 dilihat 1,614 kali

85 Top Leader Terima Penghargaan APLI Awards…

14 Jan 2022 dilihat 1,384 kali

Usung Tema Tomorrow Is Now, APLI Awards…

03 Aug 2021 dilihat 991 kali

Sukses Vaksinasi 10.000 Peserta, APLI dan…

element PENGADUAN